Wednesday, December 18, 2013

DJAMIN GINTING & TOKOH KARO




http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/54/Infobox_collage_for_WWII.PNG



Djamin Ginting (lahir di Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, 12 Januari 1921 – meninggal di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974 pada umur 53 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Karo. Djamin Ginting dilahirkan di desa Suka, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah dia bergabung dengan satuan militer yang diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri dari anak-anak muda di Tanah Karo guna menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaan mereka di benua Asia. Djamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan bentukan Jepang itu.

mpin pasukan setelah kekalahan Jepang

Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang kandas setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang komandan, Djamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Dia menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai daerah Sumatera.

Pionir pejuang

Dikemudian hari anggota pasukan Djamin Ginting ini akan mucul sebagai pionir-pionir pejuang Sumatera bagian Utara dan Karo. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lain lain adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Letkol. Djamin Gintings menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Kodam II/Bukit Barisan. Djamin Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel Simbolon untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia. Disatu pihak, Simbolon merasa Sumatera dianak-tirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara profesianal memegang teguh azas seorang prajurit untuk membela negara Indonesia.

Operasi Bukit Barisan

Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan (Sumatera Utara) maka Panglima TT I, Letkol Inf Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli.[1]


TOKOH TOKOH KARO DI INDONESIA

June 17, 2012 at 5:39am
YANG PERTAMA DI KARO


AKBP Rina Sari Ginting              



Mobil Deli Spoorweg Maatschappij melintas di Berastagi thn 1923
  • Hendrik C. Kruyt misionaris pertama yang datang ke suku Karo, menetap di Buluh Awar mulai 1 Juli 1890.
  • Sekolah pertama di dataran tinggi Karo, dibuka 19 Oktober 1891 dirintis oleh para missionaris untuk belajar membaca dan menulis di desa Buluh Awar.
  • Orang Karo pertama sekali dibabtis pada 20 Agustus 1893 oleh Pdt J.K Wijngaarden  terdiri dari 6 orang, yakni: Ngurupi Kembaren (Nd. Pengarapen Bukit), Pengarapen Bukit, Nuan, Tala, Tabar dan Sampai.
  • Nuan, orang yang pertama sekali disekolahkan ke Medan sebagai mantri cacar tahun 1895, lulus menjadi mantri cacar pada April 1897.
  • Jalan antara Sembahe ke Sibolangit selesai dikerjakan sepanjang 5 kilometer pada bulan Oktober 1893, dan sudah bisa dilalui oleh kereta lembu.
  • Negel Br Sinulingga, wanita Karo pertama menikah dengan kulit putih, Carel Westenberg seorang controleur di Deli Mij awal tahun 1890-an.
  • Gereja Karo yang pertama sekali ditahbiskan di Buluh Awar 24 Desember 1899 dengan jumlah jemaat 56 orang dipimpin Pdt M. Joustra.
  • Si Kelin dari desa Durin Sirugun orang yang pertama menjadi Guru di sekolah rakyat milik misionaris tahun 1901.
  • Pernikahan secara Kristen yang pertama dilakukan di desa Tanjung Beringin oleh Pdt.  J.H. Neumann pada April 1902.
  • Untuk pertama kalinya diterbitkan buku permainan dan bacaan dalam bahasa Karo tahun 1903 untuk dipakai di sekolah-sekolah misionaris.
  • RS Kusta pertama di Lau Simomo  diresmikan oleh Pdt E.J van den Berg 25 Agustus 1906, dengan jumlah pasien pertama 25 orang.
  • Tahun 1907 mobil pertama sampai di Kabanjahe milik J. Th Cremer dalam kesempatannya memberi sumbangan kepada RS Kusta.
  • Tahun 1908 berdiri sekolah Kweek School (sekolah tinggi guru) di Berastagi pimpinan G. Smith, kemudian pindah ke Raya.
  • Tahun 1912 kamus pertama bahasa Belanda - Karo diterbitkan oleh Bataksche Instituut  yang disusun Pdt Meint Joustra.
  • Bulan Juni dan Juli 1926 koperasi pertama berdiri di Sibolangit dan Kabanjahe bernama KSSS (Kongsi Si Sampat-Sampaten).
  • Rumah Sakit Umum pertama RS Zending Kabanjahe dibangun di Gungleto oleh Bataksche Instituut 20 September 1920 diresmikan pada 15 Juli 1923 yang kemudian dihibahkan ke GBKP 22 September 1948.
  • Majalah pertama dicatat bernama Merga Silima terbit tahun 1926.
  • Alkitab perjanjian baru dalam bahasa Karo selesai diterjemahkan oleh Pdt J.H. Neumann tahun 1928.
  • Wanita pertama yang sekolah ke luar daerah, Nimai Br Purba lulus ujian pada Kopschool dan melanjut ke Normaalschool di Padang pada bulan Mei 1929.
  • Putra Karo pertama yang menjadi masinis tahun 1930  bernama Merhad Purba putra Pa Kertas Purba di Kabanjahe berangkat ke Wellevreden  memasuki sekolah Ambachts.
  • Organisasi wanita (Kristen) Karo yang pertama bernama CMCM (Christelijke Meisjes Club Madjoe) yang kemudian menjadi Moria berdiri sejak 10 Agustus 1933.
  • Sarjana Karo yang pertama bernama Jaga Bukit putra Pa Suro dari Tiga Panah menjadi mahasiswa RHS di Jakarta setelah lulus AMS Jakarta tahun 1936. Sementara Manis Manik lulus Kweekschool Surabaya tahun 1936 orang pertama yang sekolah di luar negeri tepatnya di Hoof ACTE, Oegst Geest Holland.
  • Batiren Purba kepala sekolah pertama orang Karo di Bataksche Timmer Winkel di Kabanjahe 1933.
  • Letjend Djamin Gintings, Jenderal pertama orang Karo dan Dubes pertama di Canada tahun 1957.   
  • Merlep Ginting merupakan  Master Nasional yang pertama di Indonesia.
  •  Nerus Ginting Suka, anggota parlemen  pertama di senayan tahun 1957.
  • Ngerajai Meliala Bupati orang Karo Pertama
  • Ulung Sitepu Gubernur Sumut 1963-1965 orang Karo pertama menjadi gubernur.
  • Andar Purba, Hakim Agung Karo yang pertama. 
  • Pasti Ginting Sinisuka, lulusan Akmil Karo yang pertama tahun 1970.
  • Prof. Rehngena Purba, MH, Profesor wanita Karo pertama, mantan Dekan FH USU.
  • Prof DR. Masri Singarimbun, Profesor Karo pertama di Pulau Jawa.
  • Drs. Atar Sibero lahir di Kuala 2 Mei 1931, Dirjen pertama di  PUOD Depdagri.
  • Kiras Bangun (Garamata), pahlawan pertama yang bagi orang Karo, ditetapkan pada 9 November 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
  • Drs. Inget Sembiring Direktur Utama perusahaan publik pertama di PT Astra Graphia.
  • Malem Sambat Kaban, menteri pertama orang Karo di Departemen Kehutanan periode 2004-2009, pimpinan partai pertama orang Karo di PBB.
  • Prof. Dr Risnawati Sinulingga, MTh, Doktor wanita pertama yang mengambil kajian perjanjian lama, dosen Fisip USU.
  • AKBP Dra Rina Sari Ginting, wanita pertama menjadi Kapolres  di Sumut.
  • Janatan Ginting (Atan Ginting) orang Karo pertama mencapai puncak Mount Everest
  • Prof. DR. Budi Anna Keliat, S. Kp, M. App Sc, doktor ilmu keperawatan pertama.
  • Dra. Mustika Tarigan, M.Psi, psikolog populer Karo pertama. 
  • Setiawan Sebayang, pemrakarsa pembuatan Doa Bapa Kami bahasa Karo di Bait Suci di Jerusalem.


TOKOH TOKOH KARO DI INDONESIA

YANG PERTAMA DI KARO


AKBP Rina Sari Ginting

SENIMAN


Tariganu


Santa Hoky


 1. Djaga Depari (Komponis)
2. Usaha Tarigan/ Tariganu (Penulis Puisi, sajak, syair)
3. Hendri Bangun (Dramawan)
4. Jusuf Sitepu (Penyanyi Pop)
5. Ulina Br Ginting (Penyanyi Karo)
6. Tukang Ginting (Penarune)
7. Malem Pagi Ginting (Perkolong-kolong)
8. Robby Ginting (Penyanyi Karo)
9. Perwira Ginting (Penyanyi Karo)
10. Ramona Purba (Penyanyi Karo/Nasional)
11. Siti Ofanta Pinem/ Tio Fanta (Penyanyi Nasional)
12. Santa Maranatha Ginting/ Santa Hoky (Penyanyi Nasional)
13. Anna Pinem (Pemain Sinetron)
14. Reynold Surbakti (Pemain Sinetron/ Penyanyi)
15. Sakurta Ginting (Pemain Sinetron)
16. Joey Bangun (Dramawan)
17. Juliana Tarigan (Penyanyi Karo)
18. Luther Tarigan (Penyanyi Karo)
19. Anta Prima Ginting (Penyanyi Karo)
20. Netty Vera Bangun (Penyanyi Karo)
21. Sudarto Sitepu (Penyanyi Karo)
22. Datuk Muda Barus (Penyanyi Karo)
23. John Lewi Keliat (Penyanyi Karo)
24. Rosanni Br Tarigan (Penyanyi Karo)
25. Tesalonika Br Barus (Penyanyi Karo)
26. Harto Tarigan (Penyanyi Karo)
27. Anna M. Tarigan, Artis
28. Jasa Tarigan, Pemetik kulcapi & Perintis Keyboard Karo
29. Sastrawan Tarigan, Penyanyi Karo.
30. Rita Mariani Tarigan, Penyanyi Karo.
31. Alasen Barus, Penyanyi Karo, Komposer.
32. Stasion Tarigan, Penulis Lagu



MILITER



Letjend Amir Sembiring

1. Letjend Djamin Ginting, Pangdam Sumatera, Pendiri Golkar, Dubes RI di Kanada
2. Letjend Arifin Tarigan, Komandan Pussenif Bandung, Komandan Seskoad
3. Letjen Amir Sembiring, Pangdam Cendreawasih, Asop KSAD
4. Mayjend Roni Sikap Sinuraya, Dirjen Imigrasi
5. Mayjend Raja Kami Sembiring, Pangdam Cendrawasih, Anggota DPR RI
6. Mayjend TNI Osaka Meliala, Lemhanas
7. Brigjend SK Ginting Munthe, Kasdam Patimura
8. Laksma Neken Tarigan, Mahmil Agung, Anggota DPR RI
9. Laksma Cokong Tarigan Sibero, Anggota DPR RI
10. Marsma John Dallas Sembiring,
11. Marsda TNI Mburak Ginting,
12. Marsma Arie Henricus Sembiring, Danlantamal I Belawan
13. Brigjend Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara,
14. Brigjend Nelang Sembiring, Kapoldasu, Pendiri beberapa sekolah di Karo
15. Brigjen Selamat Ginting, Kstaf Pangdam Siliwangi
16. Brigjend Djadiate Ginting, Komandan Pussenif Bandung
17. Brigjend Gelora Tarigan,
18. Brigjend Bakli T. Tarigan,
19. Brigjend Idaman Ginting, Komandan CPM Bali
20. Brigjend Bakty Tarigan, Direktur Pendidikan Sesko
21. Marsda Mburak Ginting, Aslog Kasum TNI
22. Laksda Dalam Sinuraya, Anggota DPR RI
23. Brigjend (Pol) Doni Ginting,
24. Mayjend (Pol) Seh Tarigan,
25. Brigjend (Purn) Raziman Tarigan, Wakapolda Metro Jaya
26. Brigjen (Pol) Sadar Sebayang, Pidter Bareskrim Polri
27. Kombes (Pol) Budiman Perangin-angin,
28. Kombes (Pol) Darman Sinuraya,
29. Kombes (Pol) Arman Depari, Direktur Narkoba Polri
30. Kombes (Pol) Musa Ginting, Direktur Reskrim Polda NTT
31. Kombes Pol Sabarudin Ginting Kabid Humas Polda Sumsel.
32. AKBP Desman Sujaya Tarigan, Kapolres Tarakan Kaltim.
33. AKBP Sakeus Ginting, Kapolres Bangli, Bali
34. Irjen Pol. Satria Sitepu, BNN 
35. AKBP Drs. Mustahari Sembiring, Dir Tahti Polda Sumsel.
36. AKBP Ernawati Tarigan SH, Kasubagpers Bareskrim Polri.
37. AKBP Drs Sentosa  Ginting, Roanalisis Bareskrim Polri.
38. Kombes  (Pol) Drs Tabana Bangun MSi, Kabiro Pers Polda Bengkulu.
39. Laksma Neken Tarigan, mantan Kepala Militer Agung.
40. AKP Edy Suranta Sitepu, Kasat Reskrim Polresta Solo
41. Mayor Tek Jon Kennedy Ginting, M.MgtStud. qtc, CPPM, MAIPM, Penerbang AL
42. Kombes (Pol) Drs. Darman Sinuraya, Dir Sabhara Polda Sumut.
43. Kombes Pol Drs. Armen F. Sembiring, Kabid KU Polda Sumut.
44. Kolonel (Art) Pustaka Bangun, Atase Pertahanan Afrika Selatan.
45. Kolonel TNI Imanuel Ginting, Komandan di Paspampres.
46. Kombes Pol Drs Kisman Tarigan MM, Sespuskeu Polri.
47. Kolonel Albert Peranginangin, KasubditbinkaporsatlapBekangad.
48. Kolonel Sabar Ginting M, S.Sos, Irditbekangad Bekangad.
49. Kolonel Laut (KH) Liasta Gintings, Kabag Ketatalaksanaan Biro Perencanaan Setjen Kementrian Pertahanan.
50. Letkol Laut (KH) Drs. Napindo Sebayang, Paban Pamgal Sintel Lantamal IV Tanjung Pinang.
51. Kolonel Ingan Djaja Barus, Kasubdis Musmontra Dinas Sejarah AD.




ANGGOTA DPRD di INDONESIA 2009-2014



Saleh Bangun


Syahrianta Tarigan/ Anggota DPRD DKI Jakarta/Ketua PDS DKI Jakarta


DPR RI

1. Dr. Ir.  Arif Budimanta Sebayang, MSc, Wakil Ketua Fraksi PDIP. 

DPRD Tk I Sumatera Utara


  1. Saleh Bangun (PD/Ketua)
  2. Layari Sinukaban (PD/Komisi B - Ekonomi)
  3. Taufan Agung Ginting (PDIP/ Sktrs Komisi E- Pembangunan)
  4. Dermawan Sembiring (PDS/Komisi C - Keuangan)
  5. Timbas Tarigan (Ketua Fraksi PKS)
  6. Ferry Suando Tanuray Kaban (PBB/Anggota Komisi E)


Kabupaten Karo


1. Ferianta Purba SE (Gokar)
2.Makmur Jambak S.PdI (PAN)
3.Perhiasen Triwati br Ginting (PKPI)
4. Saut Gurning (Partai Patriot)
5. Effendi Sinukaban SE (PDIP)
6. Sentosa Sinulingga (Partai Gerindra
7. Drg Bantuan Purba Msi (Demokrat)
8. Martin Luter Sinulingga (PDIP)
9.  Chairani br Karo (Partai Golkar),
10. Harison Sitepu SP (PAN)
11. Suranta Sitepu (PPPI)
12. Ir Thomas Sitepu (PIS)
13. Alar Karo-Karo (Partai PIB)
14. Siti Aminah br Peranginangin SE (PDIP)
15. Sudarto Sitepu (PDIP)
16. Sarijon Bako (PDS)
17. Sumihar Sagala SE (RepublikaN)
18. Natanail Ginting SE (Partai Barnas)
19. Aceh Silalahi (PIS)
20. Rendra Gaule Ginting SH (PDK)
21. Eka Jaya Sitepu SE (PKPB).
22. Gilbert Ginting (PDIP)
23. Suranta Ginting SE (PDIP)
24. Pengamat Sembiring SE (Hanura)
25. Onasis Sitepu SE
26. Frans Dante Ginting (Golkar)
27. Ir Monni Pandia (Partai Demokrat).
28. Masdin DT Ginting (PDIP)
29. Dra Remita Sembiring (PDK)
30. Join Fransisco Ginting (Partai Pelopor)
31. Sudirman Ginting (PAN)
32. Ir Edi Ulina Ginting (P3I)
33. Darta Bangun (PKPB)

34. Inganta Kembaren SH (Partai Golkar)
*) Ada beberapa nama belum diverifikasi

Kota Madya Medan


1. Burhanuddin Sitepu SH (Demokrat)
2. Drs Paulus Sinulingga (PDS)
3. Bangkit Sitepu (Patriot)

4. Daniel Pinem (PDIP)
5. Kuat Surbakti (PAN)
6. Sabar Syamsurya Sitepu


Deliserdang


  1. Jhon Srikhana Sebayang (Gerindra)
  2. Ruben Tarigan (PDIP)
  3. Michael Purba (Golkar)
  4. Mbaru Ginting (PDIP)
  5. Setiawan Sembiring (PD)
  6. Master Sembiring (PD)
  7. Timur Sitepu (PDIP)
  8. Sabar Ginting (PAN)
  9. Riki Nelson Barus (PDS)
  10. Berngap Sembiring (Hanura)
Langkat


  1. Sapta Bangun, SE (Demokrat)
  2. Suhardi Surbakti, SE (PDIP)
  3. M. Reza Pahlevi Tarigan, SPd (PKS)
  4. Rudi  Hartono Bangun (Demokrat)
  5. Drs. Sarikat Bangun (PDIP)
  6. Jiman Tarigan (Demokrat)
  7. Ralin Sinulingga, SE (Golkar)
  8. Malem Ukur, SP (PDIP)
  9. Tenang Ginting (PDP)
  10. Sri Warna Kaban (PBB)
  11. Edi Bahagia (Demokrat)
Binjai


  1. Herman Sembiring (PDIP)
  2. Mulia Ginting (Demokrat)
  3. Rimbun Sitepu (Demokrat)
  4. Nurlela Keloko (Demokrat)
  5. Khairul Sembiring (PPPI)
  6. Raiderta Sitepu  (PDIP) 
  7. Bob Andika Mamana Sitepu (PDIP) 
  8. Hairul Sembiring

Dairi

1. Suranta Sondher Sembiring (Golkar)
2. Ir Cipta Karo-Karo (PDS)
3. Nata Demo Bangun (PDIP)

Sergai


  1. Delpin Barus ST (PDIP)
  2. Junaedi Purba (PD)
Tanjung Balai


  1. Dahnil Karo-Karo (Hanura)
Labuhan Batu 

1. Ingan Malem Tarigan, anggota DPRD Labuhan Batu (Partai Buruh).

Labuhan Batu Utara


  1. Abdi S.Ginting, SH anggota DPRD Labuhan Batu Utara (Demokrat) 
Asahan 

1.  Zaharudin Ginting, Anggota DPRD Kab. Asahan

Aceh Tenggara

1. Roy Darwan Tarigan, anggota DPRD Aceh Tenggara (PNI Marhaen)

Subulussalam, Aceh

1. Ir Netap Ginting, Ketua Komisi B DPRD Kota Subulussalam

Jambi

1. Junedi Singarimbun, Anggota Komisi B DPRD Kota Jambi.


Siak 


1. M. Ariadi Tarigan, anggota Komisi II DPRD Siak, Riau
2. M. Nuh Karo-karo, anggota DPRD Kab. Siak.

 DKI Jakarta

1. Sahrianta Tarigan, Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta/ Ketua PDS DPW DKI Jakarta
2. Dwi Rianta Surbakti, MBA anggota komisi B DPRD DKI Jakarta (PDS).

Bekasi

1. Arwis Sembiring Meliala, Anggota DPRD Kota Bekasi (Demokrat).

Sukabumi

1. Elin Paulina Tarigan, anggota DPRD Kota Sukabumi (Demokrat)

Bantul

1. Betmen Sebayang, Ketua Fraksi Demokrat DPRD Kab. Bantul, Jatim.

Madiun

1. Jamin Ginting SH MHum, Ketua Komisi I DPRD Kota Madiun


Kota Bengkulu

1.  Rendra Ginting, anggota DPRD Kota Bengkulu / Ketua PDS Kota Bengkulu
 2. Wehelmi Ade Tarigan S.H., Anggota DPRD Kota Bengkulu.

Palangka Raya 

1. Hatir Sata Tarigan, Ketua Komisi II DPRD Kota Palangka Raya (Partai Buruh)




BUPATI/WALIKOTA/SEKDA KETUA DPRD di Indonesia


Ngogesa Sitepu


BUPATI & WALIKOTA

1. Wan Oemarudin Barus (Bupati ke 3 Deliserdang thn 1951-1958)

2. Abdul Kadir Kendal Keliat (Bupati DS ke 5 Deliserdang thn 1963-1970
3. Wan Oemaruddin Barus (KDH Tb Tinggi 1951-1956)
4. Kantor Tarigan (Kepala Daerah Tebing Tinggi, 1958-1967)
5. Sanggup Ketaren (KDH Tebing Tinggi, 1970-1974)
6. Rupai Peranginangin (Walikota Tb Tinggi, 1985-1990)

7. Tenteng Ginting (Bupati Deliserdang ke 8 thn 1979-1984)
8. Rakutta Brahmana (Bupati Karo, Bupati Asahan & Walikota Siantar, thn 1946-`954, 1954-1960, 1960-1964)
9. Sanggup Ketaren (Walikota Siantar 1974-1979)
10. Pandak Tarigan (Walikota Siantar 1964-1995)
11. Drs Nabari Ginting MSi (Thn 2005 Pjs Walikota Siantar)
12. Tampak Sebayang (Walikota Binjai thn ...)
13. Abadi Barus (Walikota Binjai thn 1995-1999)

14. Ngogesa Sitepu (Bupati Langkat 2010-2015)


KETUA DPRD



1. Bonar Ginting (Deliserdang, tahun ....)
2. Nas Sebayang, Ketua DPRD Kodya Medan (1971-1977)
3. Musim Firman Tarigan (Kab Karo)
4. Bon Purba (Kab Karo)
5. Siti Aminah Peranginangin (Kab Karo 2009-2011)
6. Naik Tarigan, BBA (Deliserdang 1999-2004)

7. Rudi Hartono Bangun (Langkat 2009-2014)
8. Effendy Sinukaban (Kab Karo 2011-2014)
9. Saleh Bangun, Ketua DPRD Tk II Sumut (2009-2014)


SEKDA


1. Mbra Barus (Deliserdang)
2. Mabai Tarigan (Deliserdang thn ...)
3. Drs Sonny Sembiring (Deliserdang thn ....)
4. Drs Aman Ginting (Deliserdang thn...)
5. Ismail Ginting, (Kab. Simalungun 2010-2115)
6. Sumbul S Depari (Kab Karo)
7. Ir Makmur Ginting MSc (Kab Karo)



DIPLOMAT



ANDREAS SITEPU

1.      Djamin Ginting Dubes untuk Canada, tahun 1957.
 2.      Elias Ginting dubes Indonesia untuk Finlandia dan Estonia.
 3.      Drs Andreas Sitepu, MA dubes Indonesia untuk Papua Nugini
 4.      Simson Ginting, Kuasa Usaha KBRI di Kroasia.
 5.    Harmen Sembiring, Kepala KDEI Taipei
 6.  Drs. Radumalem Brahmana, Atase Perdagangan Rusia.
7. Nelson Barus, Atase Perhubungan di Tokyo.
8. Prof. Abdorrahman Ginting, Ph.D, atase Pendidikan di Manila.





BIROKRAT


Malem Sambat Kaban


Tifatul Sembiring








1. Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan, Ketua Partai PBB
2. Tifatul Sembiring, Menteri Infokom, Ketua Partai PKS
3. Prof. Firman Tambun, Asisten IV Menko Ekuin
4. Atar Sibero, Dirjen PUOD/ PJS Gubernur Riau
5. Mayjend Roni Sikap Sinuraya, Dirjen Imigrasi
6. Simon F. Sembiring, Dirjen Pertambangan, Mineral dan Gas Bumi
7. Kapiten Ketaren, Hakim Agung
8. Prof. Rehngena Purba, Hakim Agung
9. Drs Purnama Munthe, SH Kajitsu/ Jaksa Agung Muda
9. MS. Sembiring, Direktur Perdagangan Bursa Efek Jakarta (BEJ)
10. Juda Sitepu, Direktur Teknik Kereta Api Indonesia (KAI)
11. Soedarti Surbakti, Direktur Badan Pusat Statistik (BPS)
12. Drs Netap Peranginangin, salah seorang Dirjen di BKPM
13. Ir Peter Sinulingga, Dirjen di kantor Menko Polkam
14. Ir Cerdas Kaban,  Deputi Bidang Pelayanan Publik Menpan
15. Alexander Barus, Direktur Kimia Hulu Kementrian Perindustrian
16. Nabari Ginting, Kepala Dinas Sosial Sumut/ Pjs Walikota Siantar
17. Dr. Ir Budi D. Sinulingga, Ketua Bappedasu
18. Nurlisa Ginting, Kadis Pariwisata Sumut
19. Haris Binar Ginting, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Deliserdang
20. Ir Untungta Kaban, Kadis Pertambangan dan Energi Sumut
21. Drs Radiman Tarigan, MAP, Kepala Sekretariat DPRD SU
22. Hasil Sembiring, PhD, Kepala Puslitbang Tanaman Pangan Deptan
23. Salman Ginting, Kepala Badan Penanaman Modal dan Promosi  Prov. Sumatera Utara
24. Elyta Ras Ginting, SH, LLM, Ketua Pengadilan Negeri Tebingtinggi
25. Timbas Tarigan, Wakil Walikota Binjai
26. Immanuel Tarigan, SH, Humas Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam
27. Harmein Ginting, Dirut Perusahaan Daerah Pembangunan Sumut.
28. Andreas Tarigan, Kabag Administrasi Perekonomian Pemkot Medan.
29. Ir Kira Tarigan, Kadis PU Kota Medan.
30. Sacramento Tarigan, Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi BBPOM Medan.
31. Asli Peranginangin, Kepala Terminal Amplas.
32. Edison Peranginangin, SH, MKes, Kasubag Hukum dan Humas RSUD dr Pirngadi Medan.
33. Azaddin Sitepu, Deputi Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat.
34. Ir Zulkifli Sitepu, Kadis Kominfo Kota Medan.
35. Rama Sebayang, Kedis Kesehatan Kabupaten Kayong Utara, Kalbar/ Ketua PMI Kayong.
36. Dr Yakup Ginting SH CN MKn, Hakim Tinggi di  Pengadilan Tinggi Banjarmasin.
37. Drs. Joto Sembiring, Kepala BPKP Sumut (1991-1994)
38. Drs. Ramram Brahmana, Kakanwil Pajak Sumut  I (Tahun ....)
39. Harta Indra Tarigan, MBA, Kakanwil Pajak Sumut II.
40. Drs Taremalem Sembiring, Direkur STAN (Tahun ....)
41. DR. Dr. Daniel Ginting M. Kes Direktur RS Adam Maik Medan (Tahun ...)
42. Arwan Surbakti, Direktur Kelembagaan dan Pelatihan Masyarakat Dept. Dalam Negeri.
43. Budiman Ginting, Kadis Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) Babel.
44. Jhony Ginting, Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau.
45. Simon Tarigan, SE Sekretaris Bappeda Kab. Deliserdang
46. Bahtera Peranginangin, SH, MH, hakim tinggi Buntok, Kaltim.
47. Sabrina Tarigan, Kasubbag Program Kab Deliserdang.
48. Sinarta Sembiring SH, Kepala Kejaksaan Negeri Tahuna, Sulut.
49. Dr. Drs. Masana Sembiring, MSi, Direktur IPDN Kampus Rokan Hilir, Riau.
50. Suasta Ginting, S.Sos, MAP,  Assisten Administrasi Pembangunan Kab. Dairi.
51. Drs. Selamata Sembiring, MSi,  Kepuslitbang Aplikasi Informatika Depkominfo.
52. DR. dr. Tiurmina Tarigan, MARS Kasie Bimbingan & Evaluasi DEPKES.
53. Ir Rafael Ginting, Asst. Adm Pembangunan Kab. Dairi.
54. Drs Aman A. Sinulingga, Hakim Pengadilan Pajak - Jakarta.
55. DR. Ir Petrus Sitepu, Peneliti di Balitbang Pertanian.
56. DR. Ir Pirman Bangun, MS. Peneliti BPP Padi/ Dosen IPB.
57. DR. Ir Doah Dekok Tarigans, Peneliti Puslitbangbun.
58. DR. Ir Pius Petumpuan Ketaren, M.Sc, peneliti Balitnak.
59. DR. Drs Simson Tarigan, MSc Peneliti BBalitvet.
60. DR. Ir Simon Petrus Ginting, M.Sc, Peneliti Lolitkambing.
61. Ir. Setel Karo-Karo, M.Sc, PhD, Peneliti Lolitkambing.
62. Ir Tuah Sembiring, BPPT Sumut.
63. Ir Rahman Pinem, MM Direktur Budidaya Tanaman Buah Deptan.
64. Drs. Persadan Girsang, Direktur Pembangunan Masyarakat Desa di Kemendagri.
65. Kadir Ruslan Sitepu, Kepala BKKBN Bangka Belitung.
66. Drs Ramona Ginting, Ka Humas Pemda DKI Jakarta.
67. Loto S. Ginting, SE, M.Com, Direktur Surat Utang Negara Kemenkeu.




OLAHRAGA


Cerdas Barus

1. Advent Bangun, Peraih medali emas karate Asean Games
2. Erick Christopher Sebayang, Pemain Basket  klub Pelita Jaya
3. Iwan Karo-Karo, Pemain PSMS peraih medali emas PON 1989.
4. Gunung Ginting, Asyabab Salim Grup Surabaya.
5. Rehmalem Peranginangin, Mastrans Bandung Raya juara Liga Indonesia 1995.

6. Petrus Barus, pemain Harimau Tapanuli,
7. Monang Sinulingga MN, Catur
8. Merlep Ginting MN, Pecatur masa kolonial Belanda
9. Nasib Ginting, MI Catur
10. Sarwan Ginting, MF Catur
11. GM Cerdas Barus, Catur
12. Maksum Firdaus Sembiring, MN Catur
13. Sri Rahayu Sinuhaji, MFW Catur
14. Mark N. Ginting, Petenis Junior
15. Robby Meliala, pemain Volley peraih emas SEA Games.
16. Alan Sastra Ginting, atlet tolak peluru peraih emas ASEAN Para Games VI di Solo.
17. Alex Pri Bangun, Off Roader.
18. Abdul Kamil Sembiring Pemain Timnas U-21 PSMS Medan.
19. Pergunaan Tarigan, atlet angkat besi peraih emas PON.


AKUNTAN PUBLIK



Liasta K Surbakti


1. KAP Liasta Surbakti & Rekan, Utan Kayu - Jakarta
2. KAP Drs Budiman Sembiring, Kelapa Gading - Jakarta
3. KAP Selamat Kita Sinulingga, BSD Tangerang
4. KAP Drs Biasa Sitepu, Teuku Umar - Medan
5. KAP Drs Selamat Sinuraya, Medan
6. KAP Drs Darwin Sembiring Meliala, Medan
7. KAP Eddy Mulia Barus, Sunter - Jakarta.
8. KAP Drs B Bangun (Brigade Bangun), Grogol - Jakarta
9. KAP. Drs. Mudjianto, Soenaryo, Ginting (Mbue Ginting Munthe) Surabaya.
10. KAP Kabar Sitepu, Medan.
11.  Darmenta Pinem, Partner KAP. Kosasih, Nurdiyaman, Tjahjo & Rekan.
12. Rasin Tarigan, partner KAP. Drs. Rasin, Ichwan & Rekan - Jakarta.
13. KAP Drs Joseph Munthe MS, Bandung.
14. KAP Drs Harris Pelawi, Pulomas - Jakarta.
15. KAP Sehat, Bukit, Ketaren & Rekan, Cikutra - Bandung.
16. KAP Syafruddin Ginting S, MAFIS & Rekan, Medan.
17. Drs. Nirwan Sembiring, partner KAP Drs Albert Silalahi & Rekan, Kalibata - Jakarta.



PENGUSAHA



G.T. Soerbakti


1.      G. Terkelin Surbakti, Lorena Group (Transportasi) - Jakarta.
2.      Derom Bangun, PT Kinar Lapiga (Perkebunan) - Langkat.
3.      Antonius Bangun, PT Kesaint Blanc (Penerbitan) - Bekasi.
4.      Capt H.Harun Sinuraya (Perkapalan) - Jakarta.
5.      Corry Sebayang, RSU Vina Estetika (Rumah Sakit) - Medan.
6.      Ir Elias Gurukinayan, PT Gloria Gurki Persada, Jakarta
7.      Paulus Sitepu, PT Lanogan Indah (Peternakan) - Berastagi.
8.      Johanes Sembiring, Deli Husada & RSU Sembiring, Deliserdang
9.      Riahna Jamin Ginting, PT Amal Tani (Perkebunan - Langkat)
10.  Drs N.J Sembiring, Gerak Tani (Pengolahan bumbu)- Jakarta.
11.  Ramli Bangun, (Perkreditan) - Jakarta.
12.  James Karosekali, PT Fanos Asia - Bekasi
13.  Robert Valentino Tarigan, BIMA (Pendidikan) - Medan.
14.  Hendrik L Karosekali, PT Surya Citra Multimedia - Jakarta
15.  Drs  Masty Pencawan, Sekolah Pencawan (Pendidikan) - Medan.



Ir Derom Bangun


16.   Julio Sembiring, PT Johor Simalem (Kontraktor) _ Cimanggis.
17.  Tranka Kabel (K Pri Bangun +)
18.  Herman Barus /Valentina Ginting PT HMS (Kontraktor) _ Jakarta.
19.  Mion Tarigan, PT Patumbak Makmur Abadi (Kontraktor) - Cibubur.

20.  Timbas Prasad Ginting, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
21.  Frans Breka Peranginangin, Borneo (Transportasi – Medan)
22.  Jefri S Karo-Karo, Karona Group, Medan &  Lampung
23.  Baskami Ginting, PT Nasional Transport, Medan
24.  Rajasama Ginting, Tasima – Kabanjahe
25.  Karsim Purba, Teruna Jaya – (Transportasi) Bandung
26.  Keluarga Tarigan, Medan Jaya
27.  Keluarga Brahmana, Garuda Pribumi
28.  Keluarga Pinem, PO Pinem Transportasi – Medan
29.  Keluarga Bangun, Sikamoni FM Medan
30.  Erwin Sinuhaji, Inganta Gray FM,  Berastagi
31.  Drs Tama Sembiring, MM,  Univesitas Jagakarsa Jakarta
32.  Drs Tenang Malem Tarigan, Politeknik MBP Medan (Pendidikan)

33.  Prof H.R. Brahmana, Microskill (Pendidikan)
34. DR Layari Sinukaban (Perhotelan)
35. Karo Jambi (Kena Ukur Surbakti) - Perkebunan, POM Bensin
36. Sumbul Sembiring, Direktur PT Alam Jaya Tuntungan.
37. Ngasup Sitepu. Family Taxi, Jakarta.
38. Henry Rezekinta Barus, Principal PT OTI Transformasi Lintas Internasional.
39. Albert Sembiring, Direktur PT Jakarta Semikon.  
40. Rosa Christiana Ginting, betr.Med.MHP.HIA.AAK, Pengurus Kadin Pusat 

Sunday, December 15, 2013

PAWANG TERNALEM [ CERITA LEGENDA KARO ]

 

Pawang Ternalem

         Alkisah, kira kira sepuluh abad yang lalu, terlahirlah seorang anak laki-laki dalam sebuah keluarga persis saat matahari berada diatas ubun-ubun. Kalau menurut penanggalan hindu kuno, hari kelahiran anak laki-laki ini adalah sehari setelah malam bulan purnama, yang disebut Tula. Menurut kepercayaan, orang yang dilahirkan pada hari setelah bulan purnama akan membawa kesialan ditengah-tengah keluarga. Karena dia membawa aura raja yang sangat kuat dan dapat mencelakakan ayah ibunya. Memang benarlah seperti ramalan itu, empat hari setelah kelahirannya, ibundanya pun meninggal dunia. Tujuh hari setelah kelahirannya, ayahandanya pun meninggal pula. Maka anak laki-laki inipun dipelihara oleh kakek dan neneknya. Hari kematian ayahandanya bersamaan waktunya dengan upacara mandi ke pancuran yang pertama bagi anak laki-laki ini dan selanjutnya diberi nama. 
Upacara ini disebut Pitu Layo, alias tujuh hari pertama untuk menuju air. Oleh pamannya yakni suadara laki-laki ibunya, anak laki-laki ini dinamai PAWANG TERNALEM. Pengertiannya kira-kira, pawang yang dapat diandalkan. Pawang begitu kental dalam kehidupan mereka, karena sebenarnya habitat kehidupan mereka adalah disekitar belantara Bukit Barisan, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Kampung yang mereka dirikan merupakan tempat persinggahan Perlanja Mayang orang yang membawa pinang dari dataran bagian hulu daerah aliran Sungai Wampu, yang sekarang dikenal dengan Dataran Tinggi Karo, untuk dijual di bandar atau kota kerajaan di dataran rendah dimana Sungai Wampu bermuara, yang disebut dengan Kerajaan Haru. Sebaliknya mereka akan kembali ke gunung dengan membawa (memikul) garam untuk diperjual belikan pula di Dataran Tinggi Karo. Jarak lurus dari pusat kebudayaan di hulu dengan Kerajaan Haru hanya sekitar lima puluh kilometer, namun karena jalan yang mereka tempuh berliku-liku mengikuti punggung bukit dan lereng lembah ditengah hutan rimba belantara, maka perjalanan itu kadang kadang ditempuh dalam satu minggu. Maka kampung kelahiran Pawang Ternalem yang dikenal dengan nama Pertumbuken Lau Simbelin, adalah jarak tempuh tiga hari baik dari Haru, maupun dari Karo.
          Tanpa ayah dan ibu, dan karena diyakini membawa sial, Pawang tidak diurus oleh kakek dan neneknya. Sekali waktu, seorang wanita dengan seorang anak laki-laki yang seumur dengan Pawang datang ke kampungya, rupanya wanita itu adalah kakak dari ibunda Pawang. Wanita itu meminta kepada kakek Pawang, agar Pawang dapat dibawanya ke hilir (ngkahe) agar hidupnya dapat lebih terurus. Tapi kakek Pawang tidak memberi izin, dengan alasan anak ini membawa bencana kepada orang-orang yang ada didekatnya. Jadi jika dia ikut dengan bibinya, dicemaskan akan mendatangkan malapetaka pula. Maka Pawang tidak jadi dibawa bibinya ke hilir. Beban hidupnya semakin berat.
Kalau ada rombongan Perlanja Mayang yang singgah dikampunya, Pawang selalu membantu mereka menjaga barang bawaan, menyediakan perapian dan membantu mencari binatang buruan untuk bekal diperjalanan. Pawang pun mendapat upah yang layak, dan juga mendapat kain tenun yang bagus. Pawangpun tumbuh menjadi remaja yang berparas tampan dan gagah. Memang sudah berkali-kali Pawang bermohon untuk disertakan memikul pinang ke kota, tapi para pemikul menolak secara halus. Mereka bukan tidak senang dibantu Pawang, namun cerita nasib si Pawang sebagai pembawa sial itulah yang membuat bereka menolak.
          
                Namun, satu ketika, Pawang telah mengambil keputusan akan mengikuti rombongan perlanja itu ke hilir. Dari jauh diikutinya jejak mereka. Rupanya kelompok perlanja menyadari bahwa mereka sedang dikuntit dari belakang. Mak ketika jumpa dengan jalur perjalanan gajah ditengah belantara, maka jalur jalan setapak yang biasa mereka jalani ditutup dengan ranting-ranting kering, sehingga terkesan jalan itu menyatu dengan jalur pergerakan binatang rimba itu. Dan, ternyata Pawang terkecoh, dan dia menelusuri jalur perjalanan gajah, semakin lama semakin masuk kedalam rimba belantara. Setelah hari mulai gelap, Pawang mulai ragu, apakah meneruskan atau kembali ke kampung. Jarak yang ditempuh sudah sehari perjalanan. Entah bagaimana, tiba tiba dia melihat sinar cemerlang dari hadapannya. Dia menyadari, ini adalah harimau. Harimau itu menggerutu, kemudian menggaris tanah dua kali dengan kuklunya yang tajam. Kemudian berjalan dengan gontai, dan menoleh kembali kearah Pawang. Bulan bersinar disela-sela tajuk daun kayu rimba. Pawang memutuskan mengikuti harimau itu. Inilah perjudian hidup, kalau dia memang moyangku aku akan selamat, tapi jika tidak, biarlah hidup sampai disini, gumamnya dalam hati. Sambil menggeram harimau itu berbelok kearah jalan setapak yang lebih sempit, dan Pawang menyusul. Hampir subuh, mereka tiba di satu air terjun, yang dikenal dengan nama Srenggani. Harimau melompat menyebarangi jurang dan berlari kearah dataran sempid disisi air terjun. Pawang tersadar, rupanya di air terjun itu sedanh duduk seorang laki laki tua yang berambut panjang. Dia teringat dengan cerita para perlanja, inilah datuk yang menguasai seluruh binatang liar dihutan rimba ini. Maka diapun mendekat ke tepian sungai dan menyampaikan salam hormat.
“Sentabi Datuk, aku Pawang Ternalem cucu dari Penghulu Tanah Ketangkuhen.” Sambil menunduk-nundukkan kepalanya menekur ke tanah.
”Oh ya aku tahu. Kakekmu sudah menghubungi aku, maka kusuruh si Rimau menjemputmu.” kata kakek itu. Pawang menatap laki-laki tua itu dalam-dalam. Di dunia ruimba, dia dikenal  dengan nama Datuk Rubia Gande.
 “Dengan kedatanganmu, namaku menjadi bertambah. Sebab atas permintaan kakekmu, dan tradisi kita, kaupun harus kuangkat menjadi ajar-ajar (murid). Si Rimau memang sudah lama kujanjikan tentang kedatanganmu, begitu juga bibimu si Beru Jerai Nguda. Mereka akan menemanimu sampai waktunya kau meninggalkan gelanggang.” Ujar kakek tua itu. 
Pawang baru menyadari bahwa ceritra yang diperdengarkan oleh Datuk di kampung memang nyata adanya. Bahwa nenek moyangnya dahulu setelah melarikan diri dari Kerajaan Sriwijaya, merantau ke hulu Batanghari, akhirnya tidak tahan mengembara di hutan berlayar sampai ke Sungai Alas. Memperisteri seorang puteri Kejuruhan Batu Mbulan Negeri Samudera Pasai, mendapatkan anak kembar tiga, yakni satu harimau, satu umang (orang halus) dan satu lagi manusia biasa. Yang hidup sebagai manusia biasa itulah yang menjadi asal muasal Merga Sembiring Kembaren. Si Rimau berarti keturunan kembaran buyutnya itu, dan juga si Beru Dayang Jerai Nguda, adalah mahluk halus itu. Untuk meyakini cerita itu, dia bertanya kepada Datuk Rubia gande. “Jadi aku ini keturunan Simbiring Kembaren Datuk ?” dan datuk pun mengangguk.
“Jangan kau sesali nasib. Kematian ayah dan ibumu, serta keputusan kakekmu membuang engkau kedalam rimba, adalah sesuai dengan perjanjian secara turun temurun. Itu semua demi keselamatan orang banyak. Untuk itu kau harus di Uras dan persilihi biar lepas semua kesialan dari kelahiranmu.” Kata kakek itu. Pawang pun setuju.
Maka oleh datuk, digosoklah tubuh dan wajah Pawang dengan getah-getah tanaman hutan sehingga bentuknya menjadi sangat menakutkan. Disamping sebagai anti nyamuk, lintah dan pacat, juga menghindari gigitan binatang berbisa seperti ular, lipan dan kalajengking. Malai hari itu, Pawang sudah belajar menjadi pendekar dan sekaligus calon Datuk yang akan mengendalikan pergaulan antar binatang buas didalam rimba. Sesuai dengan namanya, Pawang Ternalem.
Setahun sudah, Pawang berguru kepada Datuk Rubia Gande di air terjun Srenggani. Kini dia dilatih oleh Datuk untuk mengenali rimba dengan segala penghuninya. Di rimba, banyak binatang yang menurut manusia tidak baik didekati. Misalnya harimau, ular, buaya, dan binatang-binatang lain yang kerap diandaikan mempunyai sifat yang membahayakan bagi manusia. Tapi Pawang dalam perkembangan kedewasaannya, semakin akrab dengan segala jenis binatang rimba. Dan pemahaman itu juga dikaitkan dengan pengenalan akan tumbuhan liar di rimba. Contohnya, pohon jelatang, ada juga yang mereka sebut pohon siterkem yang getahnya sangat beracun dan dapat membuat tubuh kita hangus berborok. Lainnya misalnya buah enau, bergetah sangat gatal. Dan kalau kita terkena getah buah enau, obatnya adalah diusap pakai ijuk enau itu sendiri. Beribu-ribu jenis tumbuhan yang merupakan racun sekali gus obat yang dipelajari oleh Pawang, sehingga dia tidak pernah ragu sekalipun ular lidi yang sangat berbisa itu menggigitnya. Tubuhnya juga sudah dikebalkan terhadap racun, dengan meminum ramuan daun dan kulit kayu yang direbus dengan periuk tanah. Pawang sudah menammatkan empat tingkatan yakni ilmu pencak silat, ilmu berkomuninkasi dengan binatang rimba, ilmu pengenalan tanaman yang bersifat racun dan obat serta ilmu filsafat atau adat istiadat hidup bermasyarakat. Rimba belantara itu sudah menjadi rumah yang indah bagi Pawang. Dan semua ilmu itu didapatkan karena persahabatannya yang sangat baik dengan si Rimau, macan yang belangnya menyatu di pusar, yakni Harimau Kembaran saudara kembar nenek moyangnya. Ilmu silatnya sudah matang berkat ketekunannya berlatih dengan si Rimau, kadang-kadang dia terluka oleh cakaran macan itu, tapi segera bisa disembuhkan karena obatnya sungguh banyak di hutan.
          Empat puluh purnama sudah dijalani, tibalah saatnya berpisah dengan Datuk. Bagaimana dengan si Rimau ? Kalau si Rimau dibawa ke kota, pastilah gempar. Orang-orang akan ketakutan dengan kehadiran raja rimba itu. Maka keberangkatan Pawang meninggalkan Srenggani, menuju desa Sapo Padang yakni perjumpaan Lau Biang (Sungai Wampu) dengan Lau Simbelin. Disana ada dataran tempat kakeknya bereta keluarga yang lain menanam kelapa, nipah, nangka dan tanaman yang dibutuhkan sehari-hari. Disana juga ada pertapaan, tempat kakek Pawang (Penghulu Tanah Ketangkuhen) menimba kesejatian hidup. Ada juga Pancur Perpangiren, sebuah taman bunga-bungaan dan daun-daunan dengan tiga buah pancuran yang berair sejuk, yang airnya kemudian mengalir ke sungai. Daun-daunan itu disebut juga bulung-bulung simalem-malem sedangkan bunga-bungaan itu disebut rudang-rudang simelias gelar sebagai kelengkapan dalam upacara memberikan kehormatan kepada nenek moyang yang telah mewariskan kehidupan. 
Hampir setahun lamanya di pertapaan itu, Pawang mendapat pendidikan lanjutan dan pewarisan seluruh harta, ilmu, dan pengetahuan termasuk sejarah dan pusaka Sembiring Kembaren dari Dusub Ketangkuhen yang masih tersisa. Ada pusaka yang sangat dia dambakan yakni pusaka yang dibawa oleh ayah Pangeran Kembar (yang kemudian menjadi Simbiring Kemaren) dari negeri Sriwijaya, yakni Pisau Balabari dan Cap Sembilan (pisaunya berbilah dua atau kembar dan cap sembilan berbentuk bintang dengan sembilan sudut runcing). Pusaka itu konon dititipkan di Danau Toba, ketika mereka berkunjung ke rumah Silalahi Raja di Silalahi dekat Paropo di tepian Danau Toba sebagai tanda persaudaraan. (Kenyataannya, Sembiring Kembaren sampai saat ini tetap diakui saudara oleh keturunan Silalahi Sabungan atau bermarga Silalahi). Semua harta benda itu diterima Pawang Ternalem, dan disimpan kembali di pertapaan. Setelah Pawang merasa cukup, maka diapun berangkat menelusuri Lau Biang, menuju pusat kerajaan Haru. Sampai di pusat kebudayaan itu, dia bertanya kepada pedagang garam tentang keberadaan bibinya yang dulu pernah hendak menjemput dia dari kampung pada masa kecil. Menurut pemberitahuan kakeknya, suami bibinya itu adalah pedagang garam dan sirih pinang di kota Haru. Menurut informasi dari para pedagang sirih pinang, suami bibinya itu telah meninggal dunia. Bibinya bersama seorang anaknya bernama Ndaram pindah ke Kerajaan kecil (kejurun) bernama Jenggi Kumawar ditepian Lau Bingei ( Sungai Bingei). Maka berangkatlah Pawang menuju Kejurun Jenggi Kumawar menembus hutan antara au Biang dengan Lau Bingei. Begitu dia sampai di desa itu, dia langsung menuju rumah Pengulu (raja). Ketika dia mau naik ke beranda rumah itu, dan berhadapan dengan seorang gadis, yang sangat cantik jelita. Begitu terpesonanya Pawang dengan kemolekan gadis itu, sehingga ia sampai terbengong, dan lupa memberi salam. Gadis itupun melihat Pawang terperangah, dan tiba-tiba lari tergopoh-gopoh melalui tangga yang lain dan menjerit-jerit minta tolong.
“Toloooong, tolooooong ada hantuuuuuuuuu.” Katanya menjerit-jerit.
Mendengar jeritannya, maka keluarlah Pengulu Jenggi Kumawar, karena ingin tahu apa sebabnya anak gadisnya menjerit-jerit. Dihadapannya berdiri seorang laki-laki hitam rembutnya gimbal kulitnya berkerak bersisik, memang mirip dengan hantu. Sambil meletakkan bungkusannya Pawang memberi hormat. “Sentabi Raja, aku Pawang Ternalem, seorang pengembara, minta ijin menumpang satu malam ini karena hendak mencari sanak saudaraku di negeri tuan ini.” Ujarnya sambuil mengaturkan sembah secara orang Melayu.
“Mari, silahkan naik kerumah.” Kata Pengulu Jenggi Kumawar. Kemudian dipanggilnya su Bujang, pembantunya untuk memanggilkan iasterinya dan anaknya. Rupanya isteri Pengulu ikut keluar dari belakang mengejar Putri Beru Patimar, yang telah masuk ke rumah tetangga. Tanpa kesulitan si Bujang sudah mengetahui kemana kira-kira gadis itu pergi. Maka tak lama kemudian dia telah berhasil membawa anak gadis bersama ibunya naik kerumah.
“Ini isteriku, dan ini anakku namanya Putri Beru Patimar.” Ujar Pengulu memperkenalkan anak dan istrinya. Pawang menghaturkan sembah, tapi putri Pengulu itu tidak mau mendekat. Ditunjukkannya rasa tak senang menjurus jijik melihat penampilan Pawang. Pada zaman itu, rumah Penghulu memang tempat menumpang berteduh dan menginap bagi pengembara. Jadi wajar saja rumah Pengulu didatangi tamu dari luar desa.
“Tolonglah kalian masakkan makan malam kita. Biarlah si Bujang mengambilkan ikan di kolam.” Kata pengulu. Maka berangkatlah si Bujang ke kolam. Rupanya Pawang ingin tahu juga bagaimana cara si Bujang menangkap ikan, maka merekapun berangkatlah berdua.
Sepulang dari kolam, dirumah tinggal Putri Beru Patimar sendirian. Sedangkan Pengulu jenggi Kumawar dengan isterinya berangkat ke desa sebelah mengadakan rembugan kenduri besar ahir panen.
Begitu jijiknya Putri Beru patimar kepada Pawang, sehingga dia menghidangkan makan untuk Pawang dengan Pelangkah Biang (tempat makanan anjing peliharaan), dan malamnyapun disuruh tidur dengan Apar-apar Lipo (tikar alas kandang ayam). Pawang menerima penghinaan ini dengan ikhlas. Keesokan harinya, subuh-subuh dia telah ikut membantu Bujang membelah kayu untuk kayu bakar. Kemudian, setelah diberi Putri Beru patimar dia sarapan pagi dengan Pekangkah Biang itu, diapun mengambil bungkusannya dan mohon pamit kepada Pengulu. Rencananya akan pergi ke perladangan diseberang sungai, karena dia mendengar bahwa bibinya dan saudara sepupunya itu tinggal disana. Maka berangkatlah dia, dengan perasaan teraduk-aduk, antara kekagumannya atas kecantikan Putri Beru Patimar, dan sakit hatinya diperlakukan seperti binatang.
Setengah hari perjalanan dari Jenggi Kumawar ke Desa Seberang Ulu, Pawangpun sampai di rumah bibinya. Kematian pakcik yang menjadi sumber kedukaan bibinya selama ini, tersentuh kembali dengan kedatangan Pawang. Pawang dan Daram saudara sepupunya berusaha menghentikan tangis bibinya yang semakin terlara-lara. “Kita harus kembali ke dunia nyata bi. Kematian Pak Cik adalah sesuai dengan suratan tangannya. Aku dan Daram masih bisa membantu bibi, menjaga bibi. Toh aku juga tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibuku bahkan tidak bisa kubayangkan bentuk wajahnya.” Ujarnya. Si Bibi juga dapat memaklumi keadaan Pawang, dan dia ingin Pawang dan Daram dapat menjadi saudara sejati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.
Begitulah, selanjutnya Pawang tinggal di desa itu. Orang-orang melihat Pawang sebagai orang yang buruk rupa, tapi rajin dan baik hati. Beberapa kali Daram berkelahi dengan pemuda kampung karena tak tahan dengan ejekan orang orang atas kejelekan saudaranya. Tapi Pawang selalu mengingatkan bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Mendengar nasehat abangnya, Daram pun mengalah. Tapi dia kadang-kadang tidak habis fikir, abangnya yang sakti itu kok diam saja diolok-olok dan dipermalukan orang. Bahkan dia pernah mempertanyakan masalah itu kepada pawang. Tetapi Pawang diam saja dan menyimpannya didalam hati.
Sudah menjadi kebiasaan Pawang mengambil madu dari hutan untuk dimakan dan dijual kepada pedagang yang datang ke desanya. Semenjak kehadiran Pawang, keadaan ekonomi mereka membaik, karena Pawang dapat memberikan penghasilan dengan mengambil hasil hutan yang nampaknya ringan seperti madu, getah jelutung dan kulit-kulit kayu yang dibutuhkan para pedagang.
Setahun keberadaan Pawang di desa Seberang Hulu, tibalah musim panen. Musim panen bersamaan dengan musim berbunga tanaman hutan, dan musim madu. Salah satu sarang madu yang sangat terkenal adalah madu dari lebah yang bersarang pada sebuah pohon ditepi kampung Jenggi Kumawar yang dikenal dengan nama Pohon Tualang Simande Angin. Pohon Tualang ini memang sangat tinggi, mencapai lima puluh depa orang dewasa. Maka setiap kali angin berhembus, dia akan bergoyang, maka disebut Tualang Simande Angin.
Mundur kisahnya tiga tahun kebelakang, tatkala Putri Beru Patimar berumur tujuh belas tahun, oleh Raja Pengulu Jenggi Kumawar sudah diumumkan bahwa siapa saja pemuda yang mampu menurunkan kepala madu Tualang Simande Angin ke hadapan raja, maka dia berjodoh dengan Puteri Beru Patimar. Dan musim panen yang keempatlah saat Pawang sudah tinggal setahun di Desa Seberang Hulu. Maka diceritakannya lah niatnya hendak menurunkan madu dari Tualang Simande Angin, sebagai modal untuk menundukkan Beru Patimar. Mendengar kemauan kemanakannya, si bibi sangatlah gundah hatinya. Karena mengambil madu dari Tualang Simande Angin sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah berpuluh puluh pemuda yang terhempas jatuh dari pohon itu, membuang nyawa demi memperebutkan Putri Beru Patimar yang cantik jelita itu. Lagi pula bibinya berfikir, bagaimana mungkin kemanakannya yang jelek itu disandingkan dengan gadis cantik puteri raja. Tapi tekad Pawang sudah bulat, dan pas ketika bulan sudah besar, jalan desa terang benderang. Pawang mengajak Daram berangkat menuju Tualang Simande Angin dengan membawa surdam.
“Bukannya kita bawa parang, abang malah membawa surdam?” tanya daram keheranan.
“Ayolah ikut saja, nanti disana semuanya akan menjadi mudah.” Bujuk Pawang.
Ketika sampai ketempat yang dituju, Daram merinding ketakutan, karena begitu banyak tengkorak berserakan disekeliling pohon itu.
“Bang, kalau abang naik keatas, aku tidak berani disini sendirian. Begini banyak tengkorak berserakan, pastilah arwahnya menjadi hantu penasaran, bergentayangan.” Ujar Daram. Pawangpun memaklumi perasaan saudaranya, maka diantarnyalah Daram kembali ke Kampung. Kemudian dia kembali ke Tualang Simande Angin ditemani Si Rimau yang telah ikut bersama Pawang saat terakhir Pawang mengambil madu di hutan. Lagipula, sebenarnya kepulangannya kerumah karena ia lupa membawa benang arang.
Begitu Pawang sampai di pohon itu, bulan sudah naik cukup tinggi, maka oleh Pawang dilemparkannya tulang benang arang itu keatas pohon, maka tiada lama kemudian bibi si Beru Jerai Nguda sudah ada diatas pohon itu sambil tertawa halus.
“Anakku, hari ini engkau memanggilku tanpa perjanjian. Ada apa yang engkau perlukan?” tanya bibi dari atas dahan Tualang.
“Bibi, aku hendak naik keatas pucuk Tualang Simande Angin ini, tolong bibi tahan angin yang kencang ini supaya diam. Supaya aku dapat naik dengan selamat.” 
Demikianlah permohonan Pawang kepada bibinya. Maka si beru Jerai Nguda meluncur ke pucuk pohon dan disapanyalah angin sikaba-kaba agar berhenti sejenak. Melalui benang arang yang telah ditarik sempai ke pucuk Tualang, Pawang memanjat dampai dahan terakhir, mencari tempat duduk yang nyaman. Kemudian ditiupnya surdamnya dengan penuh perasaan, terlebih-lebih teringatlah dia dengan nasibnya yang sangat malang. Terdengarlah suara surdam itu ke seluruh penduduk Jenggi Kumawar. Keluarlah para gadis-gadis dan ibu-ibu dari rumahnya, berjumpa satu sama lain membicarakan kemerduan dan kesyahduan suara surdam itu. Penuh rasa pilu dan menyayat hati. 
“Siapakah gerangan yang meniup surdam itu, terharu hatiku dibuatnya.” Kata seorang ibu kepada yang lain. “Nampaknya dia mengalami hidup yang sangat menyedihkan. Iramanya pun mendayu-dayu sangat menyayat hati.” Kata yang lain.
Sejenak Pawang berhenti meniup surdamnya, dipandanginya seluruh hamparan kampunh dan sawah serta hutan dikejauhan. Ke arah Barat terlihat awan putih dikaki langit ditimpa cahaya rempulan, terkenang akan nasibnya ditinggalkan ayah dan ibu. Hidup terbuang, sampai di tanah rantau Jenggi Kumawar, mendapat hinaan yang sangat menyakitkan. Tanpa disadarinya menetes air matanya didalam keremangan sinar rembulan. Dan bersenandunglah dia dengan penuh pilu.
“Oh ayah, ibu … yang tak sempat kukenal, kurasakan hidupku ibarat i sebatang pohon pisang yang hampir mengering ditengah ladang yang sudah ditinggalkan pemiliknya, daunku compang camping diiris iris angin, pucuknya hangus dibakar matahari, putiknya kuncup tak berisi, jantungnya mengecil menciut, keberadaanku yang menyendiri menyesali nasib yang telah digoreskan sang maha pencipta.”
 Hampir semua ibu ibu yang turun ke beranda rumah mengusap air mata, terharu dengan senandung yang sangat memilukan itu. Lewat tengah malam, Pawang turun kembali, dan pulang ke rumah bibinya. Dia tidak mengambil apa-apa dari pohon Tualang Simande Angin itu.
Malam berikutnya, dia kembali memanjat pohon itu, dan para gadis gadis dan ibu ibu yang mendengarkan suara surdam itu, seharian membicarakannya, dan tentunya menunggu lagi malam berikutnya. Malam ini Beru Patimar ikut keluar dari beranda rumahnya, ditemani beberapa gadis. Dengan seksama mereka mendengarkan suara surdam itu, dan kembali ada bilang-bilang yang semakin menyayat hati. Tak terasa airmata Beru Patimar pun menggenang, mau diusap dia malu, tapi kalau dibiarkan menetes juga nanti ketahuan. Maka dikucek-kuceknya matanya. 
“Ih…nyamuk nakal, masak masuk ke mata.” Ujarnya. Tapi teman-temannya tahu bahwa Beru Patimar juga terhanyut dengan buaian suara surdam itu.
“Bilang saja sedang terharu. Nggak usah malu.” Kata kawannya. Tapi dia menyangkal, dan pura-pura tidak tertarik dengan suara surdam itu. Merasa kalah dari teman-temannya maka diapun cemberut dan masuk kedalam rumah. Tapi hatinya bertanya-tanya, siapa kira-kira yang sanggup menaiki Tualang Simande Angin itu ? Apakah jodohku sudah dekat ? Begitulah hatinya berkecamuk, dan malam itu dia tidak tertidur sampai subuh.
Sudah lima malam berturut-turut, Pawang meniup surdamnya diatas pohon Tualang Simande Angin. Dan tentang kejadian itu sudah terdengar ke seluruh pelosok kampung bahkan sampai ke kampung-kampung disekitar Jenggi Kumawar. Semua orang membicarakan tentang janji Pengulu Jenggi Kumawar. Siapa gerangan orang yang akan menurunkan madu lebah dari pohon Tualang Simande Angin. Beru Patimar pun sudah mulai gelisah, ingin mengetahui seperti apa sosok orang yang akan menjadi calon suaminya itu.
Maka ketika malam keenam tiba, dia bersama gadis-gadis lain dan beberapa ibu, sambil bercanda di beranda rumah Pengulu, menanti suara surdam yang sangat memilukan itu. Dan sebagaimana malam sebelumnya, suara surdam itupun mulai terdengar. Namun suara surdam itu malam ini berubah menjadi irama alunan perang. Rupanya Pawang sedang memerintahkan beberapa ekor lebah mendatangi rumah Pengulu, dan lebah itu telah terbang menuju beranda rumah Pengulu, serta merta menyengat bibir Putri Beru Patimar bagian atas. Kontan Beru Patimar menjerit-jerit kesakitan, dan merekapun kebingungan melihat jerit rintih Beru Patimar. Menjelang tengah malam, suara surdam itupun berhenti. Pengulu dengan isterinya sibuk mencari obat penawar bisa sengatan lebah Tualang Simande Angin. Tatakala subuh tiba, rintihan Beru Patimar mulai melemah. Bibirnya membengkak sampai ke kelopak matanya. Wajahnya begitu menyedihkan dan menggelikan. Sungguh tidak ada terlihat bekas wajah yang cantik tapi judes itu. Yang terlihat hanya wajah kesakitan dengan raut wajah membulat seperti balon. Setiap kali teman-temannya yang datang menjenguk tertawa geli melihat bentuk wajahnya, dia pun makin jengkel dan putus asa. Beberapa tabib dan dukun telah diundang, tapi pengaruh racun sengat lebah itu tidak bisa segera dihilangkan.
Maka malam ketujuh, malam bulan purnama, tibalah saatnya Pawang menurunkan kepala madu lebah Tualang Simande Angin. Dipancungnya sarang lebah itu sepertiga dari bawah, yang konon berisi lebah berwarna putih susu. Kemudian besok pagi disuruhnya si Daram megantarkan kepala madu itu berikut carangnya ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar. Semula Beru Patimar menyangka si Daramlah yang menurunkan kepala madu itu. Tapi mendengar percakapan dengan ayah dan ibunya, barulah dia tahu bahwa ada orang lain, yakni saudara sepupu si Daram. Si Daram menjanjikan besok senja seluruh madu dari Tualang akan diturunkan dan akan diantar ke rumah Pengulu sekali gus menunaikan janji Pengulu tentang perjodohan anaknya Beru Patimar. Disamping itu, si Daram juga menyampaikan pesan bahwa orang yang menurunkan madu ini akan membawa obat atas penyakit Beru Patimar. Beru Patimar sendiri karena malu, tidak mau menjumpai si Daram di beranda rumah.
Dia merasa senang sekaligus kebingungan dengan keadaannya. Bagaimana dia besok menjumpai sang teruna itu, dengan wajah bengkak dan bibir monyong begitu.
Keesokan harinya, berangkatlah Daram dengan dua orang pemuda desa Seberang Hulu, diiringi Pawang Ternalem, membawa madu Tualang Simande Angin ke rumah Pengulu. Disana tua-tua adat telah menunggu demikian juga penduduk sekitar rumah pengulu. Maka diserahkanlah (enem tongkap tengguli lebah ras dua ndiru cambang aringgenang) madu itu dalam enam bumbung bambu, serta cangkang madu dua gugus, sebagai tanda pemenuhan persyaratan untuk melamar Putri Beru Patimar. Maka tua-tua kampung itu bertanya : Ndigan reh sangkep nggeluhndu, entahpe kin anakberundu guna ngarihken perjabundu ras Beru Patimar (Kapan utusan keluargamu datang untuk membicarakan perihal pelamaranmu terhadap Beru Patimar). Maka jawab Pawang, berhubung karena dia anak yatim piatu, sementara kakeknya tinggal ditempat yang sangat jauh, maka untuk urusan melamar akan dilakukannya sendiri, dan yang mewakili orang tua adalah gurunya Datuk Rubia Gande. Kemudian dia minta dapat bertemu dengan Beru Patimar untuk mengobati sakitnya. Pada awalnya Beru Patimar sangat keberatan untuk keluar, tapi karena rasa ingin tahu tentang siapa pemuda yang akan menyuntingnya itu, dia pun keluar. Begitu dia melihat pemuda itu, diapun teringat dengan perjumpaannya setahun sebelumnya. Maka diapun menolak mentah-mentah. Dia tidak mau dipertunangkan dengan manusia yang tampangnya lebih buruk dari hantu. Tapi janji raja harus ditepati, sebab kalau raja sudah tidak menepati janjinya. Bagaimana dengan rakyat. Maka dengan berat hati, keluarlah Beru Patimar dari kamar, menghadap laki-laki buruk rupa itu. Maka Pawang pun mengusapkan telapaknya ke wajah gadis itu, menyerap racun lebah yang telah menyengatnya, dan sesaat mulailah kempes, dan rasa nyeri yang berdenyut berangsur hilang. Lepas magrib, Pawang minta pamit, dan menjanjikan sebulan kedepan, dia akan haduir bersama gurunya untuk menuntaskan rencana perkawinannya. Beru Patimar telah sembuh dari sakit sengat lebah, dan mengenang jasa pemuda itu dalam menyembuhkan penyakitnya, senang juga hatinya. Namun jika dia teringat dengan wajah buruk pemuda itu, rasa kecewanyapun semakin membekas.
Sehari setelah penyerahan madu itu, Pawang berpamitan kepada bibinya, untuk segera menuju Srenggani, melaporkan rencana perkawinannya. Maka malam itu juga dengan menunggangi si Rimau, dia segera sampai di pertapaan. Dijelaskannya semua duduk perkara perjodohan itu, yang semula dilatar belakangi penghinaan yang amat sangat. Tapi Datuk Rubia Gande tidak menunjukkan rasa gembira. Wajahnya mendung dan sangat-sangat murung. Melihat wajah gurunya begitu murung, Pawang menjadi tegang, dan cemas.
“Apa kiranya sebabnya Datuk merasa gundah. Apakah memang aku tidak diijinkan mempersunting anak pengulu itu ?” tanyanya. “Bukan itu masalahnya. Perhitungan hari kelahiranmu dengan gadis itu tidak serasi. Halangannya besar. Besar sekali. Karena kalau dipaksakan perkawinan ini, usianya tidak lama . Artinya salah satu diantara kamu akan mati.” Ujar Datuk. “Apakah tidak ada jalan keluar Datuk ?” tanya Pawang cemas.
“Ada, kau harus diuras, pulahi kahul, persilihi. Untuk semua ini membutuhkan waktu satu musim.” Ujar Datuk.
“Biarlah Datuk. Saya bersedia melaksanakan itu semua.” Kata Pawang. 
Maka esok harinya Pawang disuruh mengumpulkan bahan penyamak agar semua getah-getahan dibadan dan rambutnya dilepaskan. Siang harinya Pawang dibawa ke pancuran di tepi Srenggani, dan oleh Datuk dicucilah semua samak biring yang melapisi kulit Pawang demikian juga dengan rambutnya, sehingga rambutnya semula gimbal kini halus terurai dan kulitnya yang semula hitam legam telah berubah menjadi sawo matang. Maka Pawang Ternalem telah berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Sesuai perintah Datuk Rubia Gande, maka berangkatlah Pawang menuju rumah kakek di kampung Pertumbuken Lau Mbelin untuk memohon doa restu dan persiapan upacara sebagaimana diperisyaratkan menurut pembacaan kalender ( pengoge wari sitelupuh, paka sisepuludua). Pertemuan dengan kakek dan nenek tentulah sangat mengharukan. Bahkan berita tentang turunnya madu Tualang Simande Angin pun sudah sampai ke kampung dibawa oleh Perlanja Sira. Maka berkumpullah Sangkep Nggeluh Pawang Ternalem, sesuai aturan adat Merga Silima Tutur Si Waluh, Rakut si telu, Perkade-kaden Sepulusada tambah sada). Dipersiapkanlah seserahan kepada keluarga Pengulu Jenggi Kumawar dibawah pimpinan Pengulu Jandi Melasang. Inti dari perutusan ini adalah membawa dua khabar penting yakni, pertama bahwa Keluarga Pawang Ternalem secara resmi melamar Beru Patimar menjadi calon isteri Pawang. Yang kedua, bahwa acara resmi perkawinan dilaksanakan setelah satu musim kedepan, karena Pawang ernalem harus mengikuti ritual-ritual demi kelanggengan perkawinannya kelak.
Kedatangan Pengulu Jandi Melasang, pada dasarnya sudah diterima oleh kaum Kerajaan Jenggi Kumawar. Namun, untuk pengesahannya, Pawang harus ikut mengabdi di Rumah Pengulu sampai hari pernikahan tiba, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga dengan Ngian-ngiani (berjaga-jaga).
Untuk kegiatan Ngulak akan dilakukan pada hitungan Paka Arimo (bulan Harimau ) warina Nggara Enggo Tula, yang kira-kira masih ada empat bulan sejak pengantaran lamaran itu. Karena itu, akhirnya Pawang mengalah dan berangkat kembali ke Jenggi Kumawar.
Ketika sampai di rumah Pengulu, semua gadis-gadis di mengintip dari jendela rumah panggung masing-masing, dan desa pun menjadi gempar karena Pawang Ternalem yang sebelumnya terlihat sangat buruk rupa, sekarang telah datang kembali dengan penampilan yang begitu menawan. Beru Patimar pun tidak mampu menahan gemuruh hatinya, dan ingin segera menjumpai Pawang.
Ketika malam tiba, Pawang ditemani Daram saudaranya berkunjung ke rumah Pengulu. Dan Pengulu mempersilahkan Pawang untuk memberikan nasihat-nasihat dan saling berdialog (siajar-ajaren) satu sama lain. Ini diperlukan agar keduanya kelak sudah memiliki saling pengertian dan saling mengenal lebih dalam. Terlebih lebih kedatangan lamaran Pawang tidak dari Ture (beranda/melalui proses pacaran) tapi dari Rumah (melalui proses sejenis perjodohan ).
“Impal, aku jelma so begu enggo reh.” (Gadis, aku manusia si mirip hantu sudah datang), kata Pawang sambil duduk di tikar. Beru patimar bersimpuh disudut lain. Mendengar suara Pawang yang bergetar, Daram diam-diam surut turun dari beranda dan turun ke Jambur tempat anak muda kampung berkumpul. Biar mereka punya privasi yang cukup pikir Daram.
“Ula bage nindu kaka. Aku pe erkadiola kal aku perbahan nggo sempat selpat rananku la mehuli.” (Janganlah berkata begitu kakanda, karena akupun sangat menyesali diri atas kelancanganku tempo hari). Kata Beru Patimar menyesali tingkah lakunya setahun yang lalu. Maka Pawangpun menceritakan riwayat hidupnya, didengarkan Beru Patimar dengan seksama. Semakin larut malam merayap, semakin dalam rasa simatiknya terhadap pemuda itu, yang hidup penuh derita, penuh perjuangan dan penuh kesabaran. Dan satu hal yang paling disesalinya adalah sikapnya yang begitu sombong (bhs karo : megombang), sampai mengatakan orang hina seperti pawang tidak layak tidur di tikar, maka digantinya pakai tikar alas kandang ayam. Kalau misalnya dia disuruh menetapkan apa hukuman atas kesombongannya, dia sendiri merinding bulu romanya memikirkannya. Tapi Tuhan maha kasih, Pawang adalah orang sabar dan lapang hati. Pertemuan malam itu membuat tekadnya semakin kuat untuk mempertahankan perjodohannya dengan Pawang.
Pawang dan Daram sekarang bekerja membuka lahan baru atas ijin Pengulu. Setelah pondok kebun selesai didirikan, dan tebasan pertama dan pembakaran telah selesai, Daram berpamitan kepada Pawang karena dia juga harus membantu Ibunya di desa Seberang Hulu. Tinggallah kin Pawang sendirian merambah belukar itu untuk dijadikan perkebunan kelapa dan memelihara sebagian nipah baik untuk atap rumah maupun untuk daun pembungkus tembakau. Semua ini tentunya untuk masa depannya dengan Beru Patimar . Biasanya menjelang tengah hari Bujang datang mengantar nasi dari rumah Pengulu Sedangkan untuk sarapan pagi dan makan malam dibuat sendiri oleh Pawang dengan perbekalan yang telah mereka persiapkan dengan Daram waktu awal merambah hutan.
Pada satu hari, karena Bujang mendapat pekerjaan mengawal Pengulu sesuai jabatannya sebagai Upas, maka oleh Istri Pengulu, disuruh Beru Patimar mengantar nasi ke kebun. Pawang sudah mengetahui hal itu dari Bujang sehari sebelumnya. Mengetahui akan kedatangan Beru Patimar, maka timbullah niatnya untuk menggoda gadis idamannya itu. Maka jalan menuju ponduknya ditebarnya dau-daun hutan yang beracun dan gatal seperti daun jelatang, daun siterkem dan rengas. Pawang menyadari kedatangan Beru Patimar, karena oborolan mereka terdengar ditepian hutan. Memang betul, Beru Patimar ditemani oleh dua orang bibinya (saudara perempuan Pengulu).
Ketika melihat banyak sekali daun jelatang disepanjang pematang menuju pondok Pawang, maka salah satu dari bibi itu berteriak memanggil Pawang.
“Pawang, kami sudah datang dengan Beru Patimar mengantar makan siangmu, jemputlah kami kesini.” Teriak bibi Beru Patimar.
“Masuk sajalah, makanannya letakkan di pondok.” Sahut Pawang.
“Tapi daun-daun ini sangat gatal Pawang. Kami takut kena getah dan miangnya.” Kata seorang bibi.
“Biar si Beru saja yang masuk. Kalau dia cinta, dia tidak akan terkena penyakit gatal. Tapi kalau dia pura-pura cinta, pastillah badannya gatal-gatal semua.” Kata pawang.
Maka kedua bibi itu menyuruh Beru Patimar masuk. Beru Patimar ragu, melihat daun jelatang yang begitu berbisa, dia ngeri. Belum menyentuh saja, kulitnya serasa sudah gatal semua.
“Abang Pawang jemputlah aku, aku takut.” Ujarnya gemetar mencari pijakan yang tidak terkena daun jelatang. Keringatnya menetes disekujur tubuhnya.
Begitu dia sampai dipintu ponduk, dilihatnya Pawang sedang membakar ubi. Pawang menggaitnya untuk masuk, tapi Beru patimar tetap berdiri di pintu dengan bungkusannya.”Cepatlah, bibi menunggu disana.” Ujarnya. Jantungnya bagai berpacu dengan suara binatang hutan yang menjerit-jerit tengah hari. Tapi Pawang masih tersenyum, dilepaskannya bulang-bulang (kain pengikat kepala), dan dikibaskannya rambutnya jatuh dibahu.
“Kau tidak ingin tahu, sampai dimana bakal batas kebun kita?” tanya Pawang.
“Sekuat satu orang laki-laki bekerja. Karena aku tidak pandai berkebun.” Ujar Beru Patimar. Hatinya berbunga-bunga mendengar perencanaan kebun itu. Kebun kita berdua, begitulah berngiang-ngiang di telinganya. “Antar aku keluar, aku takut daun gatal ini.” Ujar Beru Patimar.
“Itulah, ujianmu tidak lulus. Mengapa kamu merisaukan daun berserakan ini. Bukankah dengan seikat ranting semak kamu bisa menyingkirkannya?” ucap Pawang. Lalu diambilnya dua batang perdu, diikat jadi satu, dipotongnya ujungnya menjadi rata, kemudian disapukannya ke jalan masuk pondok itu, sehingga semua daun telah tersingkir. Beru Patimar merasa sangat tolol, ketika dilihatnya pemecahan masalah yang dibuat Pawang sangat sederhana. Tapi dia hanya melengos, dan bergegas menemui bibinya. Sebenarnya kedua bibinya itupun tahu hal tersebut. Tapi sesuai pesan Pengulu, Beru Patimar harus didik lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab. Malam itu Beru Patimar bermimpi jumpa Pawang. Dalam mimpinya, terhampar daun jelatang yang sangat luas, dan Pawang menggendongnya menyeberangi daunan yang gatal itu. Beru Patimar merangkul pemuda itu dengan mata terpejam. Ia tertidur sambil tersenyum.
Sudah empat bulan Pawang bekerja keras membuka hutan. Nampaknya lahan yang akan dirancangnya sebagai kebun sudah cukup. Lima puluh rante sebagai kebun kelapa, lima puluh rante kebun durian dicampur rambutan dan duku, sepuluh rante untuk pertanian huma untuk ditanami padi, ubi-ubian dan pisang. Lalu sebagian rawa kira-kira sepuluh rante untuk bertanam nipah dan akan dibuatkan kolam ikan atau tambak. Masa pembakaran masih ada dua bulan lagi, sehingga , Pawang Ternalem berpamitan kepada Pengulu Jenggi Kumawar untuk pulang ke Srenggani. Karena sesuai janjinya dengan Datuk Rubia Gande, dia akan menjalani ritual Ngulak dan Upacara Ngombak. Karena bulan sudah naik sesuai tanggal yang telah dijanjikan. Malam itu, Pawang juga berpamitan kepada Putri Bru Patimar. Pawang meninggalkan bulang-bulang (ikat kepala) sebagai tanda perikatannya, dan Bru Patimar juga menyerahkan selendang sebagai tanda pengingat, selama masa perpisahan. Tidak banyak yang dikatakan Pawang kecuali menjelaskan bahwa penundaan ini semata-mata demi kebaikan masa depan mereka. Berat rasa hati Bru Patimar untuk melepaskan sang kekasih, namun bibirnya serasa kelu, kecuali butir air mata yang jatuh berderai dipipinya. Pawang menghilang ditengah kegelapan, mata Bru Patimar menerawang langit penuh bintang. Bulan sabit tipis sekali, terlihat mengintip diujung atap beranda. Ada genderang yang bertalu-talu didalam dadanya, tapi juga ada jerit yang sangat dalam dilembah hati seorang wanita yang tengah dilanda cinta.
Diambilnya pandan anyaman, lalu dia duduk diberanda sambil menganyam tikar putih. Enam bulan terakhir ini dia sungguh sungguh telah berubah. Dia belajar memasak, dia belajar bertenun, dan juga belajar menganyam sumpit dan tikar. Dan yang mengubah segalanya adalah cinta. Jemarinya yang lentik mulai mengait dan menepis pandan, sambil bersenandung.
Bagi si lit bagi si lahang
Sora erlebuh man bangku
Kepe warina langa terang
Sanga tertunduh kal aku
Ije minter medak mata ngku
Iluh pe mambur bas ayongku
Kupernehen ku kawes kemuhun
Ise pe la lit kuidah
Ije kuinget arih-arihta sindube pe lolo
Nambah nambahi ate megogo
nde uga denga kal kubahan bangku turang
Megati jumpa ningen lanai bo banci sayang kusayangi
Enda kuinget kal kam si tiap berngi jadi kal ateku
Nambah nambahi ate mesui
(Terjemahan bebas)
Antara ada dengan tiada
Sayup sayup suara yang memanggilku
Ternyata hari masih malam
Saat tertidur ragaku
Lalu ketika aku terjaga
Terasa air mata berlinang di pipiku
Kupalingkan wajah ke kiri dan kekanan
Tiada ada siapa pun jua
Menyentuh ingatanku tentang cinta kita yang terbengkalai
Menambah luka dalam hatiku
Duhai apa lagikah yang dapat kulakukan
Sebab untuk bersuapun semakin sulit
Walau ingatanku hanya dikau sepanjang malam
Membuat diriku semakin terluka
Malam semakin larut dan binatang-binatang malam dihutan semakin merdu meneriakkan lagu-lagunya. Ngilu perasaan Bru Patimar mengenang kisah kasihnya. Kekasih pujaan telah berangkat untuk meretas jalan pertemuan sejati. Berapa lama lagikah dia harus menunggu Pawang pulang. Dan jikalaulah perjuangan mengusir segala halangan itu tidak berhasil, ngeri rasanya memikirkan hal-hal yang tidak menguntungkan itu. 
“Ya Tuhan, berikan perlindunganmu kepada Kakanda Pawang Ternalem, agar semua rintangan itu dapat dia singkirkan, segeralah Dikau kembalikan dia kepadaku” begitulah bisik Bru Patimar dalam doa tengah malamnya. Digulungnya tikar yang telah separuh jadi, dia beranjak ke rumah untuk meneruskan lamunanya bersama bantal di Pulau Kapuk.
Sementara itu, perjalanan Pawang Ternalem menuju Srenggani sudah hampir sampai. Suara kokok ayam hutan menandakan subuh hampir tiba. Langit di Timur merah membara. Pawang dapat menatap Selat Malaka dari kejauhan. Laut itu terasa teduh dan sangat luas. Seteduh dan seluas hati manusia yang penuh keyakinan.
Srenggani masih seperti dulu. Dengusan air terjun yang tidak menghiraukan perjalanan waktu. Ranting-ranting kering berderak patah terbanting ke tanah. Daun-daun berguguran menumpuk lapis demi lapis dipermukaan tanah, lembut terpijak kaki Pawang. Suara burung Jungkararip diatas pohon yang tinggi, menyambut pagi hari ini. Hari-hari penuh dengan tugas-tugas baru.
Maka berangkatlah Pawang Ternalem dengan dua orang pengantar bersama beberapa orang anak beru ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar untuk menjemputnya. Peristiwa ini didalam urut-urutan adat disebut baba nangkih. Maka dengan berpura-pura tidak tahu Pengulu Jenggi Kumawar dengan istrinya pergi ke rumah saudaranya di kempung seberang sungai, dan ditinggalkannya di rumah panggung saudara perempuannya, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa Bru Patimar bersama dengan Pawang Ternalem. Rombongan itu hanya sebelas orang, dan subuh mereka berangkat dari Jenggi Kumawar, dan ketika maghrib baru tiba di desa Lau Simbelin, kampung kakek Pawang. Disana sudah menunggu sanak saudara Pawang Ternalem, termasuk ibunda si Ndaram saudara ibunda Pawang Ternalem. Upacara penyambutan dilaksanakan secara sederhana, yang diakhiri dengan makan malam, (tata upacara ini akan dibuat posting tersendiri).
Pada saat makan malam ini, Pawang dengan Bru Patimar di suruh duduk berdua didalam kamar, dan disuguhi masakan ayam yang telah diolah sedemikian rupa, lengkap dengan nasinya, dalam satu piring. Pertama, keduanya disuruh saling menyuap dengan sejemput nasi, secara bersamaan. Kemudian diawasi oleh bibi Pawang, mereka disuruh makan sekenyang-kenyangnya. Beberapa nasihat yang diucapkan bibi itu antara lain, jangan gigit tulang ayamnya, jangan makan sayapnya, supaya kamu jangan suka kluyuran, jangan makan cekernya, supaya rejekimu jangan seperti rejeki ayam, mengais dulu baru makan. Yang paling dianjurkan kepada Bru Patimar adalah makan telur rebusnya yang memang diletakkan ditengah-tengah maskan itu. Supaya menjadi ibu yang baik, seperti induk seekor ayam, biar anaknya berbulu putih, berbulu hitam, lurik lurik atau bintik bintik, semua dinaunginya dibawah sayapnya. Pawang disuruh makan paha ayam, biar kuat bekerja, kuat menopang harga diri dan martabat keluarga. Kalau hatinya, juga jangan, supaya tidak perate-ate (manja dan mau menang sendiri), tapi hati ayamnya berikan saja kepada bibik-bibik itu. Mereka senang karena daging hati ayam lunak, dan memang itu yang enak bagi orang yang sudah ompong he..he..he..
Selesai makan, mereka disuruh istirahat didalam kamar, dan bibi-bibi itu bergegas mengeluarkan piring, mangkok tempat cuci piring dan gelas minuman. Tapi kemudian disorongkan kedalam minuman berupa tuak dalam bumbung bambu. Trus kamar itu dikunci dari luar. Mereka berdua berpandang-pandangan. Ada celah dinding papan itu untuk mengintip, dan nampak keluarga Pawang Ternalem sedang bercakap-cakap kesana kemari tidak tentu topik. Adang-kadang saling berdebat, bercanda ejek mengejek, dan tertawa bersama-sama. Pawang masih mengenang pesan gurunya, jangan terlalu hanyut dengan perasaan. Kamu harus mampu menahan diri. Sementara saudara sepupunya, sehari sebelum mereka berangkat ke Jenggi Kumawar, ketika mandi di pancuran mengatakn, begitu sampai nanti di rumah, kamu harus mengambil kegadisannya, supaya tidak ada lagi ikat-ikat bathin dengan laki-laki manapun, entah itu yang mencintai apalagi yang dicintai Bru Patimar selain kamu. Diliriknya Bru Patimar yang sedang bersujud dihadapannya, merenung manatap jalinan tikar pandan. Lalu diangkatnya wajahnya menatap Pawang dan tersenyum.
“Nggak diminum air niranya bang?” tanya Bru Patimar.
“Sebentar lagi, perutku masih kenyang.” Jawab Pawang sambil tersenyum. Ditopangkannya tangannya ke dagu, dan ditatapnya mata Bru Patimar dalam-dalam. Pawang masih tersenyum, dan diusapnya keringat di dahi pengantinnya.
Gadis itu tertunduk, kemudian menatap Pawang lagi. Kemudian dia mengangguk. Nampaknya anggukan itu tidak untuk Pawang Ternalem tapi untuk dirinya sendiri. Dia percaya, bahwa kembang yang selama ini dijaganya dengan sebaik-baik kemampuannya, yang sudah dalam dua tahun ini diyakininya untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Pawang Ternalem. Ya, memang sekaranglah waktunya.
Maka ditengah senda gurau sanak keluarga diluar, mereka memadukan kemurnian jiwa, bagai lagu seruling yang mengalun lembut dari lembah. Pawang menapak dari kaki bukit, mendaki lereng sampai kelembah yang lembab dan berembun, dan dalam pendakian yang samakin menguras tenaganya langkah-demi langkah terayun sambil merayap di sela bukit kemuning yang berubah rona merah memayang dengan geraian rambut diubun-ubun berayun ayun bagai selendang berkibar disaput fajar. Rona pelangi memancar dari bola matanya, beralun tarian naga bersahut-sahutan bagai alu bertalu-talu menumbuk lesung, dan pias-pias padi terpancar dari bibir lesung tersentuh. Riak-riak yang semula memercik riang, berubah jadi ombak mengelombang timpa menimpa dalam badai yang semakin dahsyat. Jiwa mereka luluh lebur jadi satu dalam keheningan dan kesenyapan.
“Engkau belum membayar utang adat kepada ayah bundaku dan sanak kadang orang beradat, ingat itu dan serahkan bukti persembahanku itu kepada keluargamu, supaya tahulah mereka melunaskan hutangnya.” Kata Bru Patimar kepada Pawang. Pawang mengangguk dan mencium kening istrinya. Lalu diketuknya pintu kamar yang terkunci dari luar itu, sedikit terbuka, disorongkannya genggaman kain tenun putih itu, disambut sang bibi dari luar, dan pintu kamar terkunci kembali. Besok pagi kain itu dengan uang emas atau perak akan diantar ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar, bahwa pernikahan telah dilaksanakan dengan selamat, dan utang adat akan dibayar setelah selesai musim panen.
Istrinya menatap wajah yang terpejam itu. Dalam hati dia berkata, apapun kelak yang terjadi, aku akan mengikutimu, kemanapun, dalam keadaan apapun, sampai maut memisahkan kita. Sementara Pawang berbisik dalam hatinya, Bunda, aku sama sekali tidak mengenal engkau, karena pertemuan kita hanya selama empat hari, maka kini aku telah menemukan gantimu, restuilah kami dari tempat peristirahatanmu, biarlah keluarga kami kelak menjadi keluarga sebagaimana pernah ada dalam cita-citamu. Dan ketika dia membuka matanya, dilihatnya wajah Bru Patimar bersinar bagai rembulan.
Keesokan harinya, ketika cahaya matahari menembus lubang dancelah dinding kamar, Pawang Ternalem terjaga dan terbangun. Tapi Bru Patimar sudah tidak ada disisinya. Dan ketika dia keluar dari kamar, dilihatnya istrinya sudah pulang dari pancuran, dan tengah menyisir rambutnya yang panjang. Pawang tersenyum dan bergumam dalam hati, dia telah ada disebelah diriku. Lalu diapun bergegas ke pancuran mandi dan mengikrarkan janji hati, untuk berjuang bagi sebuah keluarga bahagia.
Kamus:
  • Surdam : sejenis seruling terbuat dari bambu
  • Bilang-bilang: nyanyian yang isinya mengenai derita hidup / semacam pengaduan nasib malang kepada Tuhan.
  • Tongkap : Bumbung bambu biasa untuk menampung air nira.
  • Ndiru : Alat penampi, Niru, Tampah (terbuat dari anyaman bambu).
  • Sangkep nggeluh : Unsur-unsur dalam adat, keluarga.
  • Anak beru : Bagian pesuruh secara adat.
  • Diuras : Diupah-upah, mandi pembuang sial.
  • Pulahi Kahul : Buang nazar, berupa pelepasan hewan di tempat tertentu/keramat sebagai pembayar roh yang hidup. Biasanya yang dilepas adalah ayam jantan putih atau kambing putih.
  • Persilihi : Upacara melepaskan semua penghambat keberuntungan, buang sial.